Informasi Buku
Blurb
Sudah banyak yang Evan Hansen cemaskan setengah mati, misalnya sekolah, mencari teman, kunjungan ke psikiater... Dan kini ia harus mencemaskan surat pribadinya yang direbut murid penyendiri yang terkenal badung pula. Ketika akhirnya surat itu dikembalikan, Evam malah tak sengaja menjerumuskan dirinya ke tengah kesalahpahaman yang berkembang menjadi jaring kebohongan.
Kebohongan itu pun menjadi viral. Masalahnya, Evan tak sampai hati mengatakan yang sebenarnya karena dalam kebohongan itu, ia punya teman. Berkat dusta itu, ia "terlihat", bahkan meringankan duka mendalam sebuah keluarga. Dan untuk pertama kalinya, Evan merasa berarti serta percaya diri.
Review
Yuhu... novel berbau mental health lagi. Nggak tau kenapa di tahun ini suka sekali baca novel-novel bergenre ini.
Secara singkat, novel ini bercerita tentang dusta untuk membuat orang lain bahagia, tapi malah membebani diri sendiri karena kebohongan itu.
Dear Evan Hansen terbit pertama kali pada tahun 2018. Namun setelah dicek di goodreads, ternyata edisi terjemahan Bahasa Indonesianya baru saja dirilis pada 10 Desember 2020 lalu.
Masih anget di Gramedia Digital. Entahlah apakah versi cetak sudah terbit?
Karena novel ini menarik, saya posting status reading progress saya di facebook. Dan tak disangka sebagian teman bilang bahwa novel ini ada drama musikalnya. Mereka juga bilang drama musikalnya bagus. Memenangi Tony Awards di tahun 2017.
Makin penasaranlah diri ini. Payah juga saya nggak tau Dear Evan Hansen ada drama musikalnya.
jsonline.com |
Baiklah, novel ini bercerita tentang Mark Evan Hansen. Yang kalau namanya disingkat jadi MEH, dan membawa kesan "ew, enggak bangeeet."
Bukan kisah baru. Mirip-mirip dengan Hate List dan Goodbye Days. Tokoh utama kita di sini (Evan Hansen) adalah seorang remaja yang harus menghadapi gangguan kecemasan yang dideritanya di tahun terakhir SMAnya.
Baca juga: [Book Review] Goodbye Days karya Jeff Zentner
Evan Hansen payah dalam berinteraksi. Karena itu, untuk mengatasi gangguan kecemasannya, terutama karena dia harus memulai hari pertama sekolah setelah liburan musim panas, psikiaternya yang bernama Dokter Sherman menyuruhnya untuk selalu menulis surat yang ditujukan kepada diri sendiri.
Surat itu harus selalu diawali dengan
Hari ini bakal luar biasa, dan ini alasannya.
Saat Evan mencetak surat itu di lab komputer, tanpa disangka suratnya ditemukan oleh Connor Murphy. Connor adalah salah satu murid seangkatan Evan yang terkenal pendiam, tapi sering membuat masalah. Lalu surat itu dikantongi Connor begitu saja.
Berhari-hari Evan panik karena isi surat itu tertera jelas nama Zoe Murphy (adik perempuan Connor), tapi berhari-hari pula Connor dan Zoe tidak menunjukkan batang hidungnya.
Tidak lama setelah itu, tersiar kabar bahwa Connor meninggal bunuh diri.
Kabar buruk lainnya: Orang tua Connor mengira surat yang mereka temukan di saku Connor adalah kata-kata terakhirnya untuk Evan. Hmm... padahal yang menulis surat itu Evan sendiri.
Walaupun Evan mengelak, orangtua Connor tetap percaya bahwa surat itu ditujukan kepada Evan. Mau tidak mau, Evan akhirnya mengiyakan. Dari sinilah benih kebohongannya dimulai, dan itu semakin membesar. Membaca lewat sudut pandang Evan bikin ikutan panik.
Evan sendiri sebenarnya tidak nyaman dengan kebohongan itu, namun apalah daya dia akhirnya terlena karena bisa mendapatkan perhatian penuh dari orangtua Connor. Perhatian yang tidak pernah dia dapatkan dari orangtuanya sendiri. Terlebih lagi, dia bisa semakin dekat dengan Zoe, perempuan yang selama ini dia taksir.
Lambat laun tiba-tiba kebohongan Evan malah viral.
Pertanyaannya: Apakah Evan akan baik-baik saja?
Jujur saja aku suka novel ini. Mengangkat tema keluarga di mana pembaca dihadapi oleh dua kondisi keluarga yang berbeda. Keluarga Evan sendiri dan keluarga Connor.
Baca juga: [Book Review] Hate List karya Jennifer Brown
Di satu sisi, kebohongan Evan memberikan dampak baik bagi keluarga Murphy yang tertimpa duka. Namun di sisi lain, Evan juga harus menanggung beban dustanya.
Karena menggunakan sudut pandang pertama Evan, pembaca bisa lebih memahami perasaan dan emosinya. Namun Connor yang sudah meninggal juga dapat sudut pandangnya sendiri. Yup, perannya jadi hantu yang mengawasi kebohongan Evan.
Biasanya novel bertema mental health kesannya serius, tapi jujur aja saya suka dengan pemikiran Evan yang kadang-kadang bikin ngakak. Interaksinya dengan Jared Kleinman juga kocak banget. Ditambah narasi terjemahannya juga enak dan mengalir. Yah, walaupun ternyata masih ada typo yang ditemukan.
Menjelang di halaman 300 mulai agak berat. Saya malah hampir nangis ketika konflik mencapai klimaks. Feelsnya terasa sekali. Nyesek. Pokoknya saya memang sesensitif itu dengan masalah keluarga.
Saya suka bagaimana penulis menyelesaikan konflik ini. Hanya saja, di bagian akhir terkesan kebut banget alurnya.
Pada akhirnya novel ini membuat pembaca belajar bahwa bagaimana pun juga, rintangan hidup itu harus kita hadapi. Walaupun harus tersakiti. Kita hanya perlu terbiasa. Dear Evan Hansen juga memberikan pelajaran bagi orangtua untuk selalu mengerti anak mereka, bukan hanya sekedar sayang, tapi juga memahami apa yang dibutuhkan seorang anak.
Oh ya, saya juga sudah menonton versi drama musikalnya. Musiknya enak-enak dan sarat makna. Hanya saja adegannya tidak selengkap versi novel. Dan kalau kamu ingin menikmati feelnya, saya sarankan untuk baca novelnya dulu. Biar waktu nonton drama musikal, bisa menikmati makna lagunya.
Terima kasih sudah membaca ^^
2 Comments
Pernah liat buku ini di twitter dan langsung di bookmark, tapi gatau kalo ternyata tentang mental health. Selama ini belom pernah nih baca yang temanya mental health, sepertinya buku ini bisa jadi permulaan.
ReplyDeleteBtw, nonton musicalnya dimana nih? pengen juga liat deh
Iyaa, boleh banget nih kak cobain buku ini. Karena temanya juga related dgn kehidupan kita saat ini.
DeleteAku nonton musikalnya di youtube 😁
Terima kasih atas kunjungannya ^^ Jangan lupa meninggalkan komentar setelah membaca, ya. Berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan sopan :)