[Cerpen] Khawatir


Khawatir

Story by 
Mithaza Monica

#

Siska melirik lelaki yang duduk di seberangnya. Lelaki itu tengah mengerjakan latihan ujian matematika. Tatapannya fokus, beberapa kali alisnya bertaut. Siska diam-diam mengeluh bosan dan mengantuk dengan suasana nyaman perpustakaan.

"Ryan, hari minggu jalan, yuk!"

"Nggak," jawab Ryan tanpa mengalihkan pandangan dari kumpulan soal-soal yang dikerjakannya.

"Eh, emangnya kenapa? Kamu sibuk?"

"Enggak."

"Terus kenapa kamu nggak mau?"

"Nggak ada alasan khusus, sih."

"Jangan-jangan kamu punya cewek lain selain aku, ya?!"

Ryan mendengus kecil. "Nggaklah."

"Bohong!"

"Sstt... ini perpustakaan. Lagipula buat apa aku bohong?"

"Terus? Apa alasannya?"

"Siska, dengarkan aku." Kali ini Ryan mengangkat wajahnya, menoleh ke arah Siska yang tengah memasang wajah marah. "Tujuanmu setelah ini universitas negeri, kan? Kamu pikir mudah lolos tesnya? Kamu harus belajar yang rajin. Ayo, kerjakan lagi soal itu. Aku akan mengajari soal yang tidak kamu mengerti."

Siska akhirnya menurut. Ia kembali membaca dan mengerjakan soal-soal ujian dengan helaan napas lelah. Punya kekasih yang otaknya pintar memang susah, dan Siska tak ada apa-apanya untuk Ryan.

Apakah Ryan menyukai dirinya sama seperti ia menyukai lelaki itu? Jangan-jangan Ryan tidak mencintainya lagi?

Siska menggelengkan kepala, membuang pikiran negatifnya jauh-jauh. Ya, hubungannya dengan Ryan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

#

Jumat pagi Siska berjalan lesu ke kelas. Begitu sampai ia langsung melangkah menuju mejanya, meletakkan tas, mendudukkan diri, lalu membaringkan kepalanya di atas meja, dan diakhiri helaan napas panjang.

"Heh, masih pagi udah lesu. Nggak bahagia baru tau rasa."

Siska melirik Rita—teman sebangkunya—yang tengah menatapnya galak. Ah, temannya ini memang selalu semangat.

"Ini juga udah nggak bahagia, kok."

"Kenapa?"

"Pusing, kebanyakan belajar. Habisnya si Ryan ngincer universitas favorit, sih. Dia pinter, pasti bisa masuk. Lah aku?" Siska kembali duduk tegak, lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan.

"Lagian kamu sukanya sama cowok kayak Ryan. Cakep sih, tapi karena dia pinter banget, cewek-cewek jadi agak gimana gitu." Rita tersenyum kecil sesaat sebelum kembali berbicara, "By the way, dia pernah nggak bilang suka ke kamu?"

Siska menelengkan kepala. "Hmm... kayanya sih nggak pernah lagi. Pertama dan terakhir bilang 'suka' tuh waktu dia nembak aku."

"Yah, nggak heran. Cowok pintar kayak dia mana mau seenaknya ngomong cinta."

Siska manggut-manggut, lalu tatapannya berubah menjadi lebih lelah lagi. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang tengah menatapnya dengan pandangan khawatir.

#

Tepat pukul tujuh pagi ponsel Siska berdering. Sang pemilik yang masih bergelut dengan selimut mengulurkan tangan, mengambil ponsel dengan mata tertutup. Siapa yang berani meneleponnya di minggu pagi ini? Omel Siska dalam hati.

"Halo."

"Halo, Siska? Kamu baru bangun?"

Mata Siska langsung terbuka lebar saat mendengar suara dari ponselnya. Ia kembali melihat nama di layar ponselnya. 

Ryan.

"Ah, iya. Ke-kenapa kamu telepon pagi-pagi, Ryan?"

"Gimana kalau hari ini kita jalan?"

Senyum Siska merekah. "Kamu serius? Bukannya kamu bilang mau belajar hari minggu?" 

Suara tawa kecil terdengar dari seberang sana.

"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?" Kali ini Siska menautkan dua alisnya.

"Kupikir, aku terlalu kejam karena menyuruhmu belajar di hari minggu. Setelah berpikir dua kali, kalau kamu sampai sakit karena terlalu lelah belajar, nanti aku malah tambah tidak bisa fokus belajar."

"Heh? Memangnya kalau aku sakit, aku akan jadi penghalang buat fokusmu?"

"Tentu. Kamu kan semangatku."

Entah mengapa wajah Siska perlahan mulai terasa panas. Siska akui, meskipun Ryan tidak pernah lagi mengatakan 'cinta' padanya, tindakan dan ucapan cowok itu selalu saja bikin Siska makin suka.

"Siska, kamu masih di sana, kan?"

Siska tersentak. "Ah, iya. Maaf."

"Oke, kujemput jam 10, ya."

Setelah itu sambungan telepon berakhir. Siska tersenyum tipis. Padahal bukan masalah jika hari minggu ini ia dan Ryan menghabiskan waktu dengan belajar lagi. Alasannya mengajak Ryan jalan adalah agar cowok itu tidak jatuh sakit karena terlalu keras belajar. Melihat Ryan belajar terlalu keras membuatnya agak khawatir.

Tapi, sepertinya pemikiran kami sama.

Kami sama-sama khawatir.

*

A/n: cerita ini sebenarnya sudah saya tulis dua atau tiga tahun yang lalu, dan saya publikasikan di wattpad 😅 sekarang terpikirkan untuk mengabadikannya di blog sendiri 😁.

Post a Comment

2 Comments

  1. Whuaaah, manisnyaaaaa <3 <3 <3

    Tak apalah kalau kata "cinta" tidak diucapkan sering-sering, yang penting tindakannya membuktikan hal yang sama dan bahkan jauh lebih manis rasanya, *eaaaa*.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena pembuktian cinta itu bukan hanya dari kata-kata. Tapi harus action juga hihi. Makasih kak udah mampir, bahkan sampai meninggalkan jejak komentar :")

      Delete

Terima kasih atas kunjungannya. Jangan lupa meninggalkan komentar setelah membaca. Berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan sopan :)